Berbicara soal yang manis-manis, pasti tak akan jauh-jauh dari wajahku yang hitam manis ini. Kalau dilihat-lihat wajahku ini tidaklah tampan tapi memang manis. Meskipun sama sekali tidak ada orang yang pernah mengatakannya. Ya mungkin karena mereka enggan untuk mengatakannya, atau mungkin juga memang kenyataannya wajahku memang semanis kopi tanpa gula.
Tapi bukan itu yang akan kuceritakan di sini. Ini hanya sepenggal kisah legit mengenai seorang teman.
Pada hari sabtu (8/12/2012) kemarin, Indonesia sedang dilanda demam salah seorang artis India terkenal. Ya, Shahrukh Khan datang ke Indonesia dan mengadakan konser di Indonesia. Para penggemarnya pun terlihat sangat antusias untuk melihat secara langsung artis favorit mereka. Mereka pun tak segan-segan merogoh kocek mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Tak sedikit pula yang mendandani diri mereka layaknya orang-orang Hindia.
Aku hanya duduk diam di rumah menonton lewat siaran televisi. Sebenarnya aku juga penggemar bintang Bollywood tersebut. Aku kagum akan pesona yang dia pancarkan sehingga dapat membuai masyarakat Indonesia seperti ini. Aku termenung, "Mungkin nek awakmu sik nang kene, awakmu mesti seneng isa ndelok konsere Shahrukh Khan nang Indonesia masia cuma lewat TV". (Mungkin kalau kamu masih di sini, kamu pasti seneng bisa lihat konsernya Shahrukh Khan meskipun hanya di TV).
Itu yang ku ucapkan dalam hati waktu itu. Salah seorang sahabat, tetangga, teman kecilku sangat tergila-gila dengan Shahrukh Khan. Bahkan dia selalu mengikuti film-film di mana Shahrukh Khan bermain di sana. Poster-poster Shahrukh Khan pun juga terpampang di dinding kamarnya. Ya, dia adalah penggemar berat bintang Bollywood itu.
Tapi pada waktu konser Shahrukh Khan kemarin dia tidak bisa menontonnya di TV, atau bahkan dia sudah tidak pernah tahu lagi seperti apa idolanya sekarang. Dia sudah tidak ada di sini lagi sekitar tujuh tahun yang lalu. Sakit paru-paru yang sudah diderita sejak dia kecil telah merangkulnya untuk berjalan ke Rahmatullah.
Dia adalah teman bermainku waktu kecil. Namanya Bambang Irawan. Usianya sekitar tiga tahun lebih tua dariku. Terakhir aku melihatnya saat aku lulus dari SMA dan aku memutuskan untuk pergi ke Jember. Sampai sekarang pun aku masih ingat saat dulu bermain, bercanda dan bertengkar bersamanya.
Ketika aku masih SMP dan waktu itu satu hari sebelum bulan Ramadhan. Kami berdua bertengger di atas pohon belimbing di depan rumahnya. "Ayo wis ndang dientekne blimbinge, sesuk wis pasa, wis gak oleh mangan blimbing nek awan". (Ayo dihabiskan saja belimbingnya, besok sudah puasa, sudah tidak boleh makan belimbing lagi siang hari). Alhasil, belimbing satu pohon pun habis tak bersisa, dari yang sudah matang sampai yang masih kecil juga habis oleh kami.
Dia juga pernah melakukan tindakan bodoh waktu kami kecil. Saat itu awal-awal musim kemarau, jadi sungai di dekat rumah kami baru saja kering. Dan ada lubang sedalam pinggang kami di sungai itu. Kami biasa motas (meracuni ikan memakai potasium) di sana.
Saat itu minggu pagi dan anak-anak seusiaku sudah berencana untuk motas di sana. Kamipun segera meng-ubek-ubek air sungai itu dengan potas. Setelah mendapat ikan lumayan banyak, Bambang masih belum puas dengan hasil tangkapannya. Dia langsung menceburkan diri dan menyelam di air yang sudah mengandung potas tersebut. Ibu-ibu yang melihat kejadian itu berteriak-teriak dan manyuruh Bambang segera naik. Dia pun naik. Tapi apa yang terjadi? Sore hari setelah paginya motas ikan, dia sakit kata neneknya dan di panggilkan mantri kesehatan di desaku. Kata mantri dia mungkin keracunan. Saudara-saudaranya pun segera mencarikan air kelapa muda. Orang-orang yang tahu kejadian pagi harinya pun tertawa sambil berkata, "Wong sing di potas iwake kok sing ngglele sing motas". (Yang diracun ikannya kok yang pusing orang yang ngracun).
Aku juga pernah diajaknya ngasak (mencari sisa-sisa panen bawang merah di sawah). Itu adalah pertama kali aku ngasak bawang merah. Dan pada waktu itu pun aku menyukai kegiatan tersebut.
Kalau bermain layang-layang, pasti anak-anak seusiaku dulu sering membeli atau membuat sendiri dari kertas minyak. Tapi tidak untuk Bambang, dia menggunakan daun Gadung kering yang tulang daunnya lurus, atau kami biasa menyebut godhong gadhung lanang (daun gadung jantan). Tidak untuk diadu dan tidak perlu tinggi-tinggi. Hanya kesenangan yang dia cari saat bermain layang-layang.
Tapi karena sakit paru-paru yang di deritanya, dia tidak bisa bermain sebebas anak-anak lainnya. Dia juga tidak seberuntung anak-anak lainnya. Dia hanya bisa sekolah sampai tamat SMP saja. Setelah itu dia membantu neneknya bekerja di kebun. Tapi karena kondisi fisiknya yang tidak sekuat anak-anak lain, dia sering jatuh sakit. Bahkan setelah dia lulus SMP penyakitnya semakin parah.
Ketika aku lulus SMA, dia semakin kurus dan semakin pucat wajahnya. Beberapa bulan setelah aku tidak ada di rumah, aku mendapat kabar bahwa Bambang telah berpulang. Seketika itu aku meneteskan air mata di dalam kamar kosku. Mungkin saat itu adalah jalan yang terbaik untuknya.
Kenangan-kenangan manis bersamanya masih melekat sampai saat ini. Meski dia sudah tidak berada di sini, tapi dia masih tetap ada dalam ingatanku. Bagiku bukan Norman Kamaru yang menyandang raja Chaiya Chaiya Indonesia. Tapi Bambang "Khan" Irawan.
Pertama saya ikut berdoa semoga Mas Bambang Irawan damai di alam sana...
BalasHapusIstilah2nya kok sama dengan dikampung saya ya.
Ada motas, ngasak dan layangan dari godhong gadhung itu juga dulu saya sering bikin.
Kenangan indah bersama sahabat yg tak kan terulang.
Makasih atas partisipasinya
Salam!
Amin...wah sama-sama anak kampung ya pak, jadi sudah tidak asing lagi dengan istilah itu, terima kasih pak apresiasinya...
Hapus