Senin, 10 Desember 2012

Terdampar Di Grajagan

Gerajagan Banyuwangi / Raino wengi sing tau sepi / Lanang wadon kang nekani,Ngilangaken susahe ati / Lungguh ring pasir-pasiran, / Sembur-semburan, garedowan / Ambi mangan selodoran, / Lanang wadon uber-uberan 

Mungkin lagu tersebut tidak asing di telinga masyarakat Banyuwangi. Apalagi lagu yang berjudul Grajagan Banyuwangi ini juga sering dinyanyikan oleh orkes-orkes melayu sekarang ini. Sehingga lagu ini juga sudah tidak asing lagi bagi masyarakat luas.

Aku jadi langsung teringat akan pantai Grajagan di kabupaten Banyuwangi saat tetangga sebelah rumah memutar lagu itu di pagi tadi. "Aku pernah ke sana!", itu yang ada di benakku.

Aku memang pernah ke Grajagan, saat itu kalau tidak salah tanggal 12 Desember dua tahun lalu. Setelah sehari sebelumnya aku bersama kawan-kawan dari UKM kesenian di fakultasku diundang ke rumah salah seorang tukang cat  di UKM-ku yang rumahnya Banyuwangi kota. Dia baru saja lulus kuliah. Tasyakuran kecil katanya.

Malam hari setelah makan-makan di rumah tukang cat tadi. Kami diajak menginap di salah satu kawan yang rumahnya di kabupaten Banyuwangi sebelah selatan (lupa nama kecamatannya). Kami tiba di rumahnya sudah cukup malam, karena berangkat dari Banyuwangi kota juga sudah malam.

Setiba di sana kami langsung di ajak makan lagi oleh keluarga kawanku tersebut. Wah ini bukan hanya makan malam, tapi makan sangat malam. Setelah itu kami langsung bertengger di karpet ruang tamunya yang disulap menjadi tempat tidur yang besar.

Keesokan harinya, setelah kami mandi dan gosok gigi (biar bersih dan kinclong). Kami diajak ke sebuah pantai yang kira-kira setengah jam perjalanan naik sepeda motor dari rumahnya. Di sepanjang perjalanan kami jalan berarak-arakan (bukan "arak" beneran karena miras dilarang). Jalan menuju pantai Grajagan dari rumah kawanku sampai ke loket masuk kawasan wisata tergolong cukup lancar. Kami sempat berhenti di sebelah loket untuk menunggu kawan-kawan yang asli Banyuwangi yang pada saat itu ingin ikut juga. Dan kami pun berfoto-foto dahulu, bayar karcis kemudian.

 "Ayo rek, urunan disik kanggo mlebu loket!"

Pose dulu

"Ayo Pak buka palangnya!"

"Nunut foto ya!"

"Apa lihat-lihat?"

Ciii...Luuukkk...Baaa.....



"Tiketnya urusen ya rek! aku taknyantai dulu..."




Setelah kawan yang kami tunggu sudah menampakkan batang hidungnya, kamipun melanjutkan perjalanan mencari kitab suci. Kondisi jalan setelah masuk loket pantai Grajagan agak kurang nyaman. Ini disebabkan banyaknya lubang di jalan yang akhirnya menjadi perjalanan romantis dengan penuh rem. Setelah melewati sepetak hutan, kami pun tiba di lokasi. Kami pun langsung memarkir sepeda motor kami di tempat yang telah disediakaan.

Suasana dan aroma pantai sangat terasa di sana (lha wong tempatnya memang di pantai, ya jelas terasa). Kami segera berjalan menuju pantai.

Baru berjalan beberapa ratus meter. Tiba-tiba sang tukang jepret ingin mengeluarkan senjatanya. Akhirnya jeprat-jepret pun terjadi di sana.








 Kata-kata yang menohok hati kita




Setelah beberapa kali dijepret dengan gaya datar-datar saja, kami pun menuju pantainya. Jeprat-jepret dengan hape pun terjadi ketika kami sudah berada di pantai. Aku lebih memilih berada di gazebo kecil karena matahari bersinar dengan garangnya, takut nanti kulitku yang sudah gelap menjadi gelap total.

Suasana pantai waktu itu tergolong sangat sepi. Karena pengunjung selain kami kami hanya ada beberapa orang saja. Pantai yang dihiasi pasir berwarna abu-abu kehitaman ini termasuk pantai yang indah dengan ombak yang tidak begitu besar pada waktu itu. Pasirnya pun bersih dari sampah-sampah non organik, hanya ada daun dan beberapa ranting pohon dari pohon yang ada di sana.












Setelah puas melihat pemandangan pantai, kami penasaran dengan adanya gua Jepang yang ada di sana dan beberapa Petilasan. Kami pun menuju tempat tersebut.

Setelah berjalan beberapa ratus meter dan sedikit menanjak, kami menemukan lokasi gua Jepang. Kami sempat penasaran bagaimana kondisi di dalam gua Jepang ini. Kami pun memasuki gua tersebut. Setelah masuk, kami baru tahu kalau ini adalah gua sebagai tempat pertahanan pada masa pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Jadi di dalam gua hanya seluas beberapa meter dan ada lubang persegi panjang yang menyerupai jendela. Suasana di dalam gua sangat lembab dan pengap, serta kami tidak bisa berdiri secara tegak karena langit-langitnya agak rendah.










Setelah rasa penasaran kami hilang kami mencoba untuk menyusuri anak tanggga yang melewati bagian atas dari gua. Setelah beberapa anak tangga kami lewati, kami sadar bahwa pemandangan dari sini terlihat sangat bagus. kami bisa melihat hamparan laut, ombak yang menabrak batu karang di bawah kami dan bukit yang berada di kanan pantai. Sungguh pemandangan yang sangat elok dengan berada di sini.
 



 Laut luas, deburan ombak serta bukit yang aduhai...

 "Itu apa ya dik?"




Setelah jeprat-jepret di anak tangga, kami lanjut naik ke atas. Telusur demi telusur, ternyata arah anak tangga yang kami naiki ini hanya memutar saja dan ujung dari jalannya adalah di dekat gua Jepang tadi. Wah....sudah terlanjur penasaran dengan apa yang ada di atas ternyata malah hanya memutar saja. Tapi tak apalah, pemandangan di atas lumayan bagus juga dengan adanya beberapa anak adam dan hawa sedang di mabuk cinta di tempat yang sepi.

Capek dengan jelan kaki, kami langsung menuju dekat tempat parkir untuk sekedar mengistirahatkan pantat yang sedari tadi belum menyentuh sesuatu yang dibuat untuk topangan. Ternyata anak-anak yang tadinya bermain di pantai juga sudah ada di sana dan dengan lahapnya menyantap bakso dan rujak manis ala Grajagan.









Setelah cukup beristirahatnya, kami langsung menuju tempat parkir karena juga langit sudah tidak menunjukkan kebiruannya, awan yang berwarna abu-abu pekat sudah bergantungan. Belum sempat masuk tempat parkir, hujan deras langsung saja menyerbu kami. Alhasil, warung yang berada di depan tempat parkir pun menjadi tempat pelarian kami. Kami berdesak-desakan di dalam warung yang tidak begitu besar. Teh hangat dan kopi menjadi teman waktu itu. Setelah menunggu beberapa lama, hujan masih saja mengguyur pantai Grajagan. Daripada menunggu lama di sana, kami pun memutuskan untuk menerobos hujan. Sebenarnya aku membawa jas hujan, hanya saja kutinggal di dalam tas dan tasku berada di rumah kawanku. Akhirnya kami berbasah-basah ria menuju rumah kawanku.

Sampai di rumah kawanku aku langsung berganti dengan pakaian dan bersiap untuk pulang. Teman-temanku yang lainnya sepakat untuk pulang ke Jember menunggu hujan reda. Tapi karena jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan nyonya sudah ingin cepat pulang karena besok harus kerja, aku memutuskan untuk pulang saat itu juga. Ternyata ada dua temanku yang ikut pulang juga. Jadi kami berempat langsung pamit pada yang empunya rumah.

Pukul delapan malam kami sudah sampai di Jember dan siap untuk terkapar semalaman.

Suasana banyuwangi terasa sampai di sini dengan alunan lagu Grajagan Banyuwangi....

Gerajagan Banyuwangi,
Raino wengi sing tau sepi
Lanang wadon kang nekani,
Ngilangaken susahe ati

Lungguh ring pasir-pasiran,
Sembur-semburan, garedowan
Ambi mangan selodoran,
Lanang wadon uber-uberan

Gandeng tangan ring pinggiran,
Pinggir pesisir Gerajagan
Bisik-bisik semayanan,
Matri janji urip bareng
Sir-siran ambi gandengan,
Gending asli Banyuwangian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar